1 November 2023, Gedung Auditorium, – Lembaga Ilmiah (LI) FH UNEJ selenggarakan Diskusi Publik dengan judul “Keadilan yang Terampas: Menilik Kejanggalan Putusan terhadap Tiga Petani Pakel” menjadi sorotan tajam saat para narasumber menggali akar konflik agraria antara Warga Pakel dan PT. Bumi Sari. Narasumber yang diundang dalam diskusi ini melibatkan warga Rukun Pakel, Usman Halimi dari Walhi Jawa Timur, dan akademisi FH UNEJ Fiska Maulidian.
Konflik yang berlangsung hampir satu abad ini berawal dari Akta 1929, yang memberikan izin kepada warga Pakel untuk membuka lahan seluas 400 bahu di Desa Pakel, Kecamatan Licin. Namun, selama berjalannya waktu, kawasan tersebut dikuasai oleh PT Bumi Sari dan Perhutani, memunculkan konflik agraria yang kompleks hingga kini.
Menurut laman WALHI, pada tahun 1985, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) PT Bumi Sari dengan luas 11.898.100 meter persegi. Namun, penelusuran WALHI Jatim menemukan bahwa HGU tersebut hanya terletak di Desa Bayu dengan luas 1189,81 Ha. Kejanggalan semakin mencuat saat PT Bumi Sari mengklaim izin pengelolaan kawasan hingga Desa Pakel.
Pada tahun 1993, beberapa warga Pakel mencoba merebut kembali lahan, tetapi mereka malah ditangkap, dipenjara, dan mengalami kekerasan, yang dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pada Februari 2023, tiga petani Pakel, Mulyadi, Suwarno, dan Untung, ditangkap secara kontroversial, di tengah perjalanan menuju rapat asosiasi Kepala Desa Banyuwangi.
“Kriminalisasi terhadap petani Pakel terus berlanjut, menciptakan kebingungan dengan surat pemanggilan yang tidak jelas dan persidangan yang diwarnai ketidaktransparanan. Pada 26 Oktober 2023, putusan diumumkan, menjatuhkan hukuman 5 tahun 6 bulan kepada ketiga petani tersebut,” Ungkap Warga Pakel dalam keterangannya pada diskusi tersebut.
Menurut WALHI, Akta 1929 masih berlaku selama tidak dicabut, analoginya seperti akta nikah yang tetap sah meski pada masa pemerintahan Belanda. Namun, Fiska Maulidian, Dosen Pidana FH UNEJ, menyoroti bahwa pembuktian putusan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku, dan hakim harus mempertimbangkan keterangan dari saksi ahli untuk menemukan titik terang dalam kasus ini.
Lanjut Ketua BPBH (Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum) FH UNEJ tersebut, ia menyatakan bahwa pembuktian putusan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yang didasarkan pada ketentuan pasal 184 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. “Pada ketentuan tersebut harus menunjukan alat bukti yang sah agar dapat diterima di persidangan. Jika terdapat banyak hal yang tidak dapat dibuktikan dan dinyatakan tidak sah, maka seharusnya delik tidak terbukti,” Ujarnya.