
Jember — Universitas Jember (UNEJ) resmi mengukuhkan Prof. Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H., sebagai Guru Besar dalam Bidang Hukum Ekonomi dalam upacara akademik yang digelar di Auditorium UNEJ, Sabtu (5/7/2025). Dengan pengukuhan ini, di lingkungan FH UNEJ memiliki 7 Guru Besar bidang hukum, sekaligus menambah jumlah total Guru Besar UNEJ menjadi 98 orang.
Upacara pengukuhan berlangsung khidmat dan dihadiri oleh Rektor UNEJ, Prof. Dr. Ir. Iwan Taruna, M.Eng., IPM., Ketua Senat, para pimpinan fakultas, civitas akademika, keluarga, serta tamu undangan dari berbagai kalangan. Pengukuhan ini juga bersamaan dengan dua Guru Besar lainnya dari Fakultas Teknik dan FKIP UNEJ.
Dalam sambutannya, Rektor UNEJ, Iwan Taruna, menyampaikan bahwa pencapaian gelar Guru Besar bukan sekadar pengakuan prestasi akademik tertinggi, tetapi juga bentuk amanah dan tanggung jawab moral terhadap ilmu pengetahuan dan bangsa. “Gelar Guru Besar bukan hanya simbol prestise akademik, tetapi merupakan panggilan pengabdian yang datang bersama tanggung jawab besar untuk menumbuhkan ilmu serta menebar nilai-nilai untuk generasi muda,” ujar Rektor.
Ia menekankan bahwa tantangan ke depan menuntut para Guru Besar untuk tidak hanya aktif meneliti dan mengajar, tetapi juga menerjemahkan hasil-hasil keilmuan menjadi solusi nyata bagi masyarakat dan industri. “Kita tidak cukup hanya bekerja melalui jurnal ilmiah, tetapi juga harus melahirkan inovasi yang dapat menjawab kebutuhan industri dan negara,” tegas Iwan.
Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Penguatan Sistem Hukum Perkelapasawitan di Indonesia”, Ermanto Fahamsyah menyoroti kekacauan sistem hukum dalam sektor kelapa sawit — komoditas strategis yang selama ini menjadi andalan perekonomian nasional sekaligus sumber penghidupan jutaan rakyat Indonesia. “Perkelapasawitan di Indonesia membutuhkan sistem hukum yang lebih teratur, menyeluruh, dan berkelanjutan,” ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa akar persoalan dalam tata kelola sawit tidak sepenuhnya terletak pada dinamika pasar, melainkan pada ketiadaan kepastian hukum akibat regulasi yang tumpang tindih di berbagai sektor — mulai dari kehutanan, agraria, lingkungan hidup, hingga perdagangan internasional.
Ermanto menilai bahwa hingga saat ini Indonesia belum memiliki regulasi induk yang mengatur tata kelola sawit dari hulu ke hilir secara komprehensif. Untuk itu, ia mengusulkan perlunya segera dibentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan sebagai payung hukum utama yang berlandaskan kedaulatan, keadilan, dan kearifan lokal.
Selain RUU, ia juga mendorong pembentukan Badan Pengelola Perkelapasawitan Indonesia (BPPI), sebuah lembaga mandiri di bawah Presiden yang akan bertugas mengkoordinasikan harmonisasi kebijakan, sertifikasi berkelanjutan, perlindungan pekebun, hingga diplomasi dagang untuk memperkuat posisi Indonesia dalam pasar global. “Kelapa sawit Indonesia telah memberi manfaat besar bagi masyarakat dan dunia. Maka, perlu didukung dengan sistem hukum yang kuat, adil, dan berkelanjutan,” tegasnya.
Menutup orasinya, Ermanto menyampaikan harapan agar amanah sebagai Guru Besar dapat ia jalankan dengan integritas, dedikasi, dan kontribusi nyata. “Semoga amanah jabatan ini menjadi jalan pengabdian yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, institusi, masyarakat, bangsa, dan negara. Mohon doa agar saya dapat menjalankannya sebaik-baiknya,” pungkasnya.