Setelah melalui perjalanan yang panjang, Mokhammad Ali Ridho pada akhirnya berhasil meraih gelar doktor di Fakultas Hukum Universitas Jember dengan predikat sangat memuaskan. Pria yang berpangkat kolonel di satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Komandan Militer Terhadap Anggota Yang Melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat” pada ujian disertasi yang dilaksanakan pada Selasa, 30 Juli 2019 di Gedung Serba Guna Fakultas Hukum Universitas Jember.

Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia militer, Mokhammad Ali  Ridho menilai terdapat permasalahan yang serius dalam mekanisme pertanggungjawaban komandan militer terhadap pelanggaran HAM berat oleh pasukannya. Permasalahan tersebut mengemuka karena selama ini, proses peradilan terhadap kasus pelanggaran ham berat oleh militer hanya mampu menjamah eksekutor di lapangan, belum sampai pada aktor intelektual di balik pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, komandan militer harusnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran HAM berat oleh pasukannya.

Mokhammad Ali Ridho menegaskan pertanggungjawaban pidana komandan militer tersebut didasari oleh Pasal 129 dan 132 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) jo. Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pertanggungjawaban pidana komandan militer sebagaimana dimaksud ketiga pasal  tersebut meliputi kejahatan yang dilakukan oleh anggota yang berada di bawah wewenang dan komando pengendaliannya secara langsung. Pertanggungjawaban pidana tersebut dapat dibebankan jika memenuhi unsur adanya hubungan antara atasan dengan bawahan, komandan mengetahui bahwa sedang atau terjadi kejahatan yang meluas, dan komandan tidak mengambil langkah mencegah terjadinya pelanggaran.

Di depan sepuluh penguji, Mokhammad Ali Ridho merekomendasikan agar pertanggungjawaban pidana terhadap komandan militer ini diatur secara tegas tidak hanya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, melainkan juga dalam KUHPM dan peraturan teknis berupa Standar Operasional Prosedur (SOP) ataupun surat telegram (ST). Hal ini perlu dilakukan agar mekanisme pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran HAM berat dapat juga menjerat aktor intelektual di balik pelanggaran HAM tersebut.

https://fh.unej.ac.id/fakultas-hukum-unej-kembali-kukuhkan-gelar-doktor-bidang-hukum-pidana-militer/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *