Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ) menyelenggarakan Kuliah Tamu dengan tema “Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia”. Kuliah tamu kali ini menghadirkan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, yang juga sebagai guru besar dalam ilmu Hukum Pidana di Universitas Gajah Mada. Acara berlangsung secara luring di Autorium FH UNEJ dan ditayangkan secara langsung melalui Akun YouTube Official FH UNEJ, Kamis (02/06/2022).
Pelaksanaan kegiatan kuliah tamu ini dilaksanakan sehari setelah pelaksanaan Perayaan Hari Lahir Pancasila. Dimana acara di hadiri Rektor Unej Iwan Taruna, Pimpinan dan dosen FH UNEJ serta para mahasiswa FH UNEJ Unej. Selain itu juga di hadiri Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur dan beberapa jajarannya termasuk jajaran yang berada di lingkungan kabupaten Jember.
Dekan FH UNEJ Bayu Dwi Anggono beserta keluarga besar FH UNEJ menyambut hangat kehadiran guru besar UGM tersebut beserta tamu lainnya. Dekan dalam sambutannya menyampaikan “suatu kehormatan bagi kami menerima silaturahmi Prof Wamen dan jajaran. Ditambah bukan hanya silaturahmi biasa tapi silaturahmi bermakna dalam bentuk kuliah tamu. Untuk itu semoga pertemuan dan kunjungan ini, dapat menjadi awal silaturahmi yang baik dan menjalin sinergi, kolaborasi dan persahabatan diantara kita semua,” Tutur Dekan.
Kehadiran Prof Wamen, lanjut dekan, juga dalam momentum yang tepat karena saat ini UNEJ termasuk FH UNEJ sedang menyelenggarakan Pancasila Fest 2022. Yaitu suatu rangkaian kegiatan sebulan penuh dalam rangka menyemarakkan peringatan hari lahir Pancasila yang rutin diselenggarakan oleh FH UNEJ setiap bulan juni. Sehingga kehadiran Prof Wamen juga kami masukkan sebagai salah satu rangkaian kegiatan dalam Pancasila Fest.
“Apa hubungannya kuliah tamu ini dengan nilai Pancasila? Kita semua tentu memahami bahwa Negara hukum Indonesia dengan melihat pada kedudukan Pancasila sebagai norma dasar negara Indonesia (grundnorm) dan juga merupakan cita hukum negara Indonesia (rechtsidee). Sudah barang tentu jelas, konsep yang dianut oleh negara hukum Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini membentuk suatu konsep negara hukum baru yaitu negara hukum Pancasila,” Ujar Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan FH UNEJ tersebut.
Berkaitan dengan topik pembahasan kuliah tamu, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiarej memaparkan bahwa pembaharuan hukum memang tidak mudah. Belanda saja melepaskan diri dari kode penal hukum perancis membutuhkan waktu 70 tahun. padahal luas negaranya seluas Jawa barat dan masyarakatnya Homogen. Apalagi kita yang masyarakatnya heterogen, multi culture, multi etnis dan multi reliji. Sehingga tarik menarik kepentingan baik politik, sosial budaya dan lain sebagainya tidak mungkin bisa di hindari dalam konteks pembaharuan hukum khususnya pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Beberapa isu kontroversial di masyarakat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undangan Hukum Pidana (KUHP). Beberapa isu yang kontroversial di masyarakat yang ada di RUU KUHP di antaranya pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, contempt of court, dan penodaan agama. Namun demikian menurutnya “Dari 14 butir RUU KUHP yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat, akhirnya Kemenkumham dan DPR menyepakati ada pasal yang tetap dipertahankan,” Kata Dosen UGM tersebut.
“Penyusunan RUU KUHP bukan semata-mata persoalan hukum dan tidak mungkin bisa memuaskan seluruh pihak, mengingat akan selalu ada tarik menarik kepentingan dari sisi sosial, budaya, agama serta politik. Sebagai contoh kalangan aktivis HAM menentang adanya pasal hukuman mati, sementara pegiat antikorupsi justru ingin koruptor dihukum mati,” Ucapnya.
lebih lanjut tonton pada link video berikut: Kuliah Tamu Wakil Menteri Hukum dan HAM RI | Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia
Eddy kemudian membeberkan survei Kemenkumham yang dilakukan pada tahun 2015-2016 mengenai hukuman mati dan ternyata 80 persen responden setuju adanya hukuman mati, namun sebagian besar mereka juga keberatan kalau teroris dihukum mati. Dari jumlah itu, 80 persen setuju hukuman mati. Tapi dari 80 persen itu, hanya 20 persen yang setuju teroris dihukum mati. Ini kan bukan persoalan hukum. Harusnya konsisten. Ini berarti apa? Ini bukan persoalan hukum, ada politik, ada persoalan religi.
Untuk itu, lanjut dia, dalam RUU KUHP pidana mati menjadi pidana khusus dimana hakim yang menjatuhkan keputusan pidana mati disertai pidana percobaan selama sepuluh tahun. Jika selama masa percobaan sepuluh tahun terpidana mati berkelakuan baik maka bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Menurutnya pasal lain yang juga menjadi kontroversi adalah pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Eddy menepis anggapan beberapa pihak yang menganggap pemerintah tengah menghidupkan pasal karet yang bertentangan dengan prinsip equality befor the law.
“KUHP semua negara memiliki persamaan dan memuat substansi yang pasti sama, namun ada tiga hal yang membedakan di antara KUHP masing-masing negara yakni mengenai kejahatan politik, kejahatan terhadap kesusilaan dan pasal mengenai penghinaan, sehingga setiap negara akan berbeda dalam mendefinisikan ketiga hal tersebut dalam KUHP-nya. Jangan lupa bahwa dalam RUU KUHP kita, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden adalah delik aduan dan bukan delik biasa, artinya presiden yang akan nanti mengadukan penghinaan tersebut ke pengadilan,” ujarnya.
“Jadi saya mau katakan khususnya kepada para mahasiswa, jangan sekali-kali mengatakan, ‘oh di Amerika begini, di Jerman begini’. Bukan. Kita tidak sedang menyusun KUHP Jerman, kita tidak sedang menyusun KUHP Amerika. Kita sedang menyusun KUHP Indonesia,” kata Eddy yang langsung disambut tepuk tangan peserta kuliah umum itu. Jangan membandingkan kejahatan politik, kejahatan asusila dengan negara lain. Jangan. Itu salah betul,” sambung Eddy,” Pesannya.
“Begitu pula terkait hukum adat atau The Living Law dalam RUU KUHP mendapat kritikan banyak pihak karena keberadaan pasal mengenai hukum adat itu bersumber dari kondisi bahwa Indonesia adalah negara multi etnis sehingga hukum adat masih diikuti oleh banyak orang seperti di Bali dan Papua. Oleh sebab itu, dalam Rancangan KUHP sekarang, pemerintah-DPR membuat satu pasal yang mengakui ‘hukum adat’. Namun ada sejumlah syarat sehingga hukum adat bisa berlaku di masyarakat,” Jelasnya.
Eddy menjelaskan, tidak ada niat membangkitkan pranata hukum pidana adat, tapi kita mengakomodasi pranata yang hidup di masyarakat seperti di Bali, Papua. menurutnya hukum adat juga menjadi the last resort jika sudah tidak ada pasal pidana yang mengatur, itu pun melalui pengadilan negeri yang ada.